oleh

Manuskrip Dua Hari Raya; Mutiara Yang Terabaikan

Tasikmalaya, hayatuna.net – Moment yang sangat isitimewa untuk hari ini. Seluruh kaum Muslimin di dunia sedang bergembira menyambut datangnya bulan Dzulhijjah. Hari terbaik yang Allah Swt anugerahkan bagi umat Islam disaat Nabi kita Muhammad Saw memproklamirkan dua hari raya terbaik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Jika kita menoleh sejenak pada sejarah, seperti diungkap dalam Ensiklopedi Islam, bahwa jauh sebelum ajaran Islam turun, masyarakat Arab sudah memiliki dua hari raya, yakni Nairuz dan Mahrajan, keduanya berasal dari zaman Persia Kuno. Biasanya, mereka merayakan kedua hari raya itu dengan menggelar pesta pora.

Hari Nairuz, hari raya tahun baru orang Majusi menurut perhitungan kalender masehi (pergiliran matahari). Masyarakat kota Madinah saat itu ikut-ikutan merayakan hari raya Majusi tersebut. Beberapa kamus Arab menjelaskan demikian definisi Nairuz, semisal kamus AL-Lughah Al-Arabiyyah AL-Mu’aashir dijelaskan, “Nairuz adalah hari pertama pada tahun syamsiyyah versi Persia (bangsa Majusi saat itu).”

Imam adz-Dzahabi, seorang ahli sejarah Islam dari negeri Syam. Beliau menjelaskan bahwa Nairuz ini juga ikut-ikutan dilakukan oleh penduduk Mesir saat itu, beliau berkata, “Adapun hari Nairuz, penduduk Mesir berlebih-lebihan melakukan dan merayakannya. Nairuz adalah hari pertama pada tahun Qibhti yang mereka menjadikannya sebagai hari raya (diperingati setiap tahun), kemudian kaum muslimin mengikuti mereka (tasyabbuh).”

Seiring turunnya kewajiban menunaikan ibadah shaum Ramadhan pada tahun ke-2 Hijriah itulah, turun kemudian hadis Nabi Muhammad Saw, Diriwayatkan dari ‘Anas RA berkata: Ketika Rasulullah Saw datang ke Madinah dan penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang di dalamnya mereka berpesta-pesta dan bermain-main di hari itu pada masa jahiliyah . Lalu Beliau Saw bersabda : Apakah dua hari itu? Mereka berkata: pada hari itu kami berpesta-pesta dan bermain-main dan ini sudah ada sejak zaman jahiliyah dulu. Maka Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya Allah Swt telah menggantikannya untuk kalian dengan dua hari yang lebih baik yaitu Iduladha dan Idulfitri.” HR. Abu Daud

Semisal hari raya idul fitri ini, atau lebaran pertama kalinya dirayakan umat Islam selepas perang Badar pada 17 Ramadan tahun ke-2 Hijriah. Dalam pertempuran itu, umat Islam meraih kemenangan. Sebanyak 319 kaum muslimin harus berhadapan dengan seribu tentara dari kaum kafir Quraisy.

Pada malam sebelum pertempuran, Rasulullah Saw mengangkat kedua tangan beliau, berdo’a kepada Allah, “Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan ini (kaum muslimin), maka setelah hari ini Engkau tidak akan disembah.” Melihat Rasulullah Saw berdo’a begitu khusyu’, Abu Bakar r.a mendekati beliau dan memberi semangat kepada beliau bahwa Allah Swt pasti akan menepati janji-Nya, yaitu memenangkan kaum muslimin. Perang pun berkecamuk antara kedua pasukan. Pada akhirnya, pasukan kaum muslimin berhasil meraih kemenangan sementara pasukan musyrikin mengalami kekalahan.

Maka catatan sejarah asal mula terjadinya hari raya Idul fitri tersebut, bagiannya bisa dijadikan sebagai landasan dasar teologi untuk mengubah hari yang tidak baik menjadi hari yang sangat baik yang di dalamnya penuh dengan nilai kemenangan serta keberkahan. Manuskrip asli bulan ramadhan adalah keistiqomah kaum muslimin dalam menghidupkan nilai-nilai yang terkandung di bulan suci tersebut. Para sahabat berjibaku membela agama Allah di bulan suci ramadhan serta menghidupkan malamnya.  Buka seperti yang kita pakai selama ini, hanya terbuai dengan hiruk pikuk kemeriahan akhirnya semata.

Keotentikan sejarah dan kembali terulang menjadi sebuah keniscayaan, tentunya ini menjadi landasan kuat ketika kita dapat memahami sebab turunnya sebuah ayat ataupun juga sebab datangnya sebuah rangkaian hadits, yang kemudian dijadikan titik pemikiran dalam sebuah pergerakan atau kualitas amaliyah di dalam konteks kehidupan. Khususnya bagi  umat Islam dalam menyikapi suatu fenomena sosial.

Ayat-ayat Al-Quran diturunkan selama 23 tahun dan demikian pula Muhammad Saw menjadi Nabi dan Rasul dalam kurun waktu yang sama. Proses turun dan lahirnya ayat atau hadis ada dalam bentuk merespons sebuah kasus atau menjawab pertanyaan yang muncul di dalam masyarakat dan ada kelihatannya turun tanpa sebab musabbab secara langsung, namun kalangan ulama tafsir dan ulama hadis menyimpulkan sesungguhnya tidak ada satu ayat atau hadis lahir tanpa background tertentu.

Dicatat dalam buku “The World Book Encyclopedia”, dijelaskan: “Semenjak abad ke 46 SM Raja Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun. Orang Romawi mempersembahkan hari 1 Januari kepada Janus, dewa segala gerbang pintu-pintu dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri,yaitu dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menghadap ke (masa) depan dan satu wajah lagi menghadap ke (masa) lalu”

Pergantian tahun 2020 menuju 2021 akan segera tiba. Ramai orang merayakannya dengan pesta kembang api pada pergantian hari. Perayaan tahun masehi ini bukan saja dirayakan non muslim tapi mirisnya juga muslim dengan hura-hura dan begadang sampai dini hari. Hampir bisa dipastikan adanya hiburan tarian, musik dan lainnya. Penyambutan yang dilakukan, tentunya sudah tidak relevan jika dilakukan oleh umat Islam. menjauh dari aturan Allah Swt.

Bagi umat Islam, penyambutan idul Adha dilakukan dengan mengagungkan dan memuliakan asma Allah sambil mengumandangkan takbir, tahlil dan tahmid. Manusia harus menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk yang dhaif (lemah) di hadapan Allah Swt, dzat yang Maha Mulia, Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Seperti moment yang istimewa bagi umat Islam, dengan mengikuti alur penetapan bulan Hijriah guna menentukan waktu pelaksanaan ibadah. Adanya ketentuan 9 Dzulhijjah, jutaan umat Islam menunaikan ibadah haji. Mereka berada di tempat dan waktu yang sama untuk memenuhi panggilan Allah Swt. Tidak ada perbedaan raja dengan rakyatnya. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, dan tak ada juga perbedaan antara satu kaum dengan kaum yang lainnya. Mereka sama menjadi tamu Allah Swt.

Maka makna idul adha bisa mencapai beberapa dimensi, diantaranya adalah bertambahnya ketaqwaan, memperbaiki hubungan antar manusia dan meningkatkan kualitas diri seorang muslim. Kebaikan yang dimiliki oleh Idul Adha, mulai dari syariat qurban Nabi Ibrahim as yang dipersembahkan untuk menunjukan bukti cinta kita kepada Allah Swt dengan cara memberikan apa yang terbaik dari yang kita miliki.  

Manuskrip asli idul adha yang sudah hilang adalah keberpihakan umat Islam akan sebuah tradisi atau kebiasaan, adat istiadat dan budaya yang telah berlaku di tengah masyarakat. Dan menjadikan adat tersebut berada setingkat di atas norma agama. Karena itu, dijadikanya dua hari istimewa dan terbaik ini sebagai pijakan awal atas apa yang harus kita perjuangkan dalam melakukan sesuatu pekerjaan yang berbuah pahala dari Allah Swt, yaitu amal sholeh yang berbuah pahala, bukan petaka.

Berbahagialah kita sebagai umat Islam, karena memiliki standarisasi perhitungan waktu sholat berdasarkan perderadan bulan, yang menghantarkan kita kepada aspek ketauhidan, senantiasa mengingat dan selalu dekat dengan Allah Swt. Dengan kata lain, bahwa manuskrip ini adalah goresan tinta keabadian tidak hanya bagi umat Islam tetapi juga bagi duniadan seisinya.

Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 120 yang artinya: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

Sebagai penutup, penulis ingin berpesan bahwa dengan mengenal serta memuliakan bulan Dzulhijjah atau bulan hijriah lainnya, sehingga kita selalu terpanggil untuk dekat dengan sang Khaliq dengan istiqomah melakukan alam sholeh sesuai yang dicontokan Rasulullah Saw. Maka kita sebagai umat Islam harus menjaga rasa, nilai dan keaslian manuskrip asli dari nilai dua hari raya tersebut.

Islam telah mengatur waktu-waktu ibadah secara perinci dan tegas. Pola penentuan waktu ibadah semacam ini tidak terdapat pada peradaban umat lain. Pelaksanaan ibadah haji, misalnya, diatur sedemikian detail, mulai dari tanggal, bulan, hingga tempat pelaksanaannya. Butuh adanya perubahan sikap, gerak serta langkah nyata untuk mewujudkan itu kembali. Kebutuhan hidup kita, tidak terbatas pada hal-hal duniawi, tetapi juga ukhrawi. /IJ

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *