Tasikmalaya, hayatuna.net – Revolusi industri 4.0 merupakan masa perguliran dunia industri menuju penerapan konsep yang berpusat pada otomatisasi. Revolusi industri ini juga dikenal dengan istilah “cyber physical system” (sistem siber-fisik) yang menghasilkan “pabrik cerdas” dengan bantuan teknologi informasi yang lebih dominan dalam prosesnya daripada keterlibatan tenaga kerja manusia. Hal ini tak sedikit menyebabkan masyarakat bersifat apatis; enggan memperhatikan sekitar dan tidak menyadari jasa dari alam. Sehingga dari sana terjadilah dekadensi moral di tengah masyarakat yang menyulut istilah “kerusakan zaman”. Maka pada saat itu, peran para aktivis dakwah di tengah masyarakat begitu esensial.
Terlebih, ketika Jepang mengumumkan era Society 5.0 sejak tahun lalu, di mana transformasi ini bersifat human centered ( berpusat pada manusia) dan technology based (berbasis teknologi) yakni dengan menjadikan manusia sebagai pusat aktivitas dengan pemanfaatan dan pemungsian Artificial Intelegent secara lebih untuk efektivitas dan produktifitas berbagai kegiatan manusia itu sendiri.
Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi aktivitas di dunia dakwah, di mana para pelakunya harus beradaptasi dengan perkembangan yang begitu pesat dan terus bergulir. Dengan tetap memperhatikan nilai-nilai sosial kemanusiaan yang sifatnya riil. Membangun kesadaran bahwa kita hidup di era ini dan penuh kesadaran bahwa kita hidup di dalamnya untuk menanggulangi kemungkinan-kemungkinan negatif yang mungkin disuguhkan dalam perkembangan zaman ini.
Hakikat dari dakwah erat kaitannya dengan shalat. Ketika isi dari shalat adalah gerakan dan perkataan, maka esensi dari dakwah pun demikian. Seorang aktivis dakwah dituntut untuk pandai beretorika (nathq) dan cakap dalam pergerakan. Pun ketika shalat disimbolkan sebagai tiang agama, yang mana dengan itu seorang muslim dituntut untuk tidak membangun bangunan tanpa tiang; maka seorang muslim juga dituntut untuk berdakwah agar tidak hanya membangun tiangnya saja. Karena di dalam ‘berislam’, tidak dibenarkan seseorang hanya menjalankan shalat atau ibadah ritual (hablu mina-llah) saja, namun juga harus disertai dengan ibadah sosial (hablu mina-nnas). Demikian karena Islam adalah agama universal yang membawa Rahmat bagi sesama bahkan bagi seluruh alam.
Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi yang tak terbendung sedikit demi sedikit telah melahirkan rasa individualis yang tinggi dalam diri manusia. Sementara, Islam sebagai ajaran yang syumul begitu memperhatikan aspek kemanusiaan yang berakar pada keilahiahan.
Pelaku dakwah mesti senantiasa mensinkronkan arti lahiriyah dan bathiniyah dalam shalatnya; mensinergikan fikir dan dzikir dalam prinsip gerakannya. Merekalah aktivis dakwah yang sebenarnya, yang mana ternyata secara kuantitas jumlahnya memang tak banyak. Sebab berbicara shalat, adalah berbicara tentang sinergitas antara hubungan manusia dengan pencipta, dan manusia dengan manusia yang lainnya.
Jalan dakwah dari masa ke masa tidak pernah berjalan mulus, selalu saja dipenuhi dengan onak dan cabaran. Apatah lagi di era yang begitu tidak jelas ini. Dakwah membutuhkan para pejuang yang mampu dan mau berkorban. Sebab, jalan perjuangan ini adalah jalan yang banyak dikagumi namun sedikit saja yang mau mengikuti dan membersamai.
Suatu kalimat dalam adzan fajar yang berbunyi “Assh-sholaatu khoirun mina-nnauum“(Shalat itu lebih baik daripada tidur) secara maknawi menganalogikan shalat dan tidur sebagai perbandingan antara para aktivis dan pasifis. Seorang yang pasif dalam jalan dakwah dianalogikan seperti orang yang tidur, yang cenderung berada di zona nyaman, sedangkan seorang yang aktif ialah mereka yang selalu bergerak dan memilih jalan yang penuh dengan resiko. Dalam hal ini, tentu saja bahwa para aktivis dakwah sebagai orang yang sedang terbangun dan bergerak lebih baik kedudukannya daripada orang yang diam menikmati tidurnya. Maka tugas para aktifis adalah membangunkan mereka yang seolah dikatakan ‘sedang tertidur’. Sebagaimana perintah Allah Swt pada Rasul-Nya, _”Qum fa-andzir” (Bangunlah dan berilah peringatan!). Meski ada pada waktunya tidur, dalam siratan makna berarti “diam” juga diperlukan. Namun diam itu mesti mengandung kualitas sehingga dapat menemukan hikmah dalam diam itu.
Adapun jika dikaitkan pada kondisi zaman sekarang yang sedemikian rusak dan mengerikan ini, dimana kaum pasif yang sudah terlalu nyaman dalam tidur panjangnya begitu menyeruak; maka sudah sewajarnya para aktivis dakwah membangunkan umat dengan cara yang tidak biasa sebagaimana seorang ibu yang membangunkan anaknya yang tertidur di tengah ancaman musibah.
Sebab peringatan harus diulang-ulang. Oleh karenanya kita harus bangun untuk bisa mengingatkan. Hanya orang tidurlah yang menjadi hakikat dari sikap apastik, aprioristik dan egoistik, yang tidak mau bangun, enggan membangunkan, marah-marah ketika di bangunkan, dan yang tidurnya tidak menjadi jalan hikmah.
Di tengah berkecamuknya perang pemikiran dan degradasi akhlak sebagai bagian dari tantangan revolusi industri 4.0 yang terus bergeser menuju society 5.0 para aktivis dakwah dituntut untuk lebih bersinergi. Pun aktivis dakwah pada era ini juga harus pandai mengisi peluang dari tumbuh pesatnya teknologi untuk menunjang perangkat dakwah dan kebutuhan umat yang semakin meluas dan beragam dengan tetap berpegang pada esensi dan idealism. / F.N.S
Komentar