Oleh: Andri Nurkamal
(disampaikan dalam kegiatan Bina Santri Ramadhan 1439 H.)
Jum’at, 15 Ramadhan 1439 H
Dikatakan oleh manusia, tatanan dunia modern mampu menciptakan inovasi teknologi yang membantu perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pengembangan infrastruktur pembangunan, ke arah yang mapan dan berkemajuan. Amazing, bukan? Tentu!
Manusia kembali berkata, capaian sains dengan seabreg temuan ilmiahnya kini makin tinggi, bentukan tekonologinya pun semakin variatif, dan pembangunan infrastruktur juga telah mencapai kegemilangan yang begitu membelalakan mata.
Dan ada lagi yang berkata, ini pun masih dari klan manusia. Namun sayang, duka telah datang, sementara manusia diminta secara sukarela insaf. Mereka berkata, sungguh secara mendalam, manusia modern, yang ditandai dengan kemajuan benda-benda materi dengan sekian capaian ilmiah pemuas kognisinya itu, sangat disayangkan, justeru malah menciptakan mesin yang fungsinya menggeser nilai kemanusiaan. Bola salju pun tambah membesar, sehingga mengantarkan pada kesenjangan puncak: “Manusia menciptakan majikannya sendiri dari jenis benda-benda mati yang tidak berhati; teknologi.”
Alhasil, dunia modern telah sukses mengantar dunia pada era di mana kita memiliki lebih banyak sarjana dan orang hebat dari jaman apa pun yang pernah manusia lewati. Tetapi hal itu diungkapkan Benjamin S. May dengan nada antara sedih dan murka. Kita tidak memerlukan pengetahuan; itu sudah kita miliki. Yang kita perlukan adalah sesuatu yang bersifat ruhaniah.
Di jaman postmo, manusia dipaksa menjadi robot, sehingga mereka kehilangan jati dirinya, keakuannya, dan kebahagian sejatinya.
Secara delayu, sir Muhammad Iqbal menguraikannya dengan diksi puitis yang menggugah.
“… Manusia bisa terbang melebihi burung, dapat menyelam melebihi ikan, namun sayang, ia tidak kuasa berjalan di atas bumi sebagai manusia.”
Lebih lanjut, penyair Pakistan ini mengungkapkan, manusia telah ditimpa nestapa, yaitu ketidakmampuan mengenali dirinya sendiri. Suatu fenomana mengerikan dari yang pernah terjadi di alam bumi.
Bila manusia dapat terbang, bukankah burung pipit yang kecil juga bisa terbang?
Bila manusia bangga dapat menyelam, tidakkah kita malu bahwa asin teri yang sangat kecil juga menyelam setiap saat?
Apa yang sejatinya manusia bisa banggakan jikalau bukan kemampuan mengenali dirinya sebagai mausia yang berhati, yang berakal, dan yang berperangai?
Sejenak hening dan menerawang dengan tenang, sesungguhnya pencapaian peradaban jaman yang diinginkan manusia, bentuk dan coraknya seperti apa?
Kita masih belum bisa lupa ungkapan lirih penemu atom yang ia ceritakan pada telinga publik dunia, tentu masih menyayat kita. Ia merasa sangat berdosa dan paling bertanggungjawab atas peperangan senjata yang menghancurkan raga-raga manusia, yang sejak ditemukannya sampai hari ini telah membunuh ratusan juta manusia.
Senjata, bila diibaratkan golok yang berada di tangan seorang pesakitan jiwa, dapat dibayangkan betapa berhayanya. Demikian pula capaian teknologi dan senjata, bila yang menggenggamnya adalah manusia-manusia sakit jiwa, niscaya pertempuran yang pasti terjadi. Hegemoni ekspansif yang meluluhlantakkan kemanusian!
Dunia berduka. Sebab milyaran manusia sakit memegang senjata! Manusia-manusia perompak modern mengendalikan persenjataan. Dan Inilah, oleh Moechtar Lubis, disebut nestapa dunia yang tiada ahir.
Maka, di manakah jawaban bagi dunia pasca modernisme sekarang? Menumbuh suburkan teknologi dan sains kah? Atau seperti Benyamin katakan, dunia butuh ruhaniah. Bentuk ruhaniah yang seperti apa? Sebagaimana Ikbal bersenandung, ialah naluriah yang mengenalkan manusia tentang fitrah kemanusiaannya.
Di mana kah ajaran itu berada? Mari membuka jendela dunia dengan waktu yang sangat singkat; semoga kita dapat menjawabnya.
Berkulit hitam, dari kelas hamba sahaya, Bilal bin Rabah, siapakah yang mengangkat derajatnya sehingga sejajar dengan bangsawan Quraisy sekelas Abu bakar?
Dari Persia, Salman Alfarisi yang berperawakan kecil, dipersaudarakan dengan sosok tokoh cendekiawan Quraisy, Ali Ra. Oleh siapakah hubungan agung lintas negara bangsa itu dipertautkan?
Masih dengan pertanyaan yang sama, seorang berkebangsaan Romawi, Shuhaib Arrumi, dengan keagungan watak siapakah sehingga saat datang ke Arab, ia berhak memeluk seorang tokoh kharismatik Quraisy, Umar Ra.?
Berkat Rasulullah Muhammad Saw. kah? Yang ketika jasadnya telah berpulang ke rahmatullah di usia 63 tahun, beliau memegang peran sentral yang memengaruhi haluan kehidupan umat manusia?
Ajaran beliaukah yang ketika dirinya hidup di Arab, masyarakat dunia tengah dihimpit oleh dua peradaban diktaor dunia, yakni Persia dan Romawi, namun beliau membangunkan ruh mental manusia untuk bangkit melakukan perlawanan atas digdaya dua peradaban yang dismoral dan tidak manusiawi itu?
Duhai manusia, duduklah dengan tenang. Sejenaklah rehatkan nafas kita. Dan untuk sekali ini, mari ikhlaskan naluri kita untuk melihat melalui ketulusan, kejujuran, dan kebeningan nurani . Apakah ajaran dengan kemuliaan nilai tersebut layak kita dudukkan di meja hijau sebagai yang tersangka ajaran tertutup? Ajaran yang ideologinya berhaluan konservatif? Rendahan dan bersifat penghambat modernitas kemanusiaan? Memasung kebebasan HAM?
Untuk mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tengil tersebut, kita harus mempertimbangkan peristiwa lain tentang dua suku yang berpuluh tahun terlibat pertempuran klasik, lalu membudaya, sehingga menjadi karakter yang mewatak. Ialah suku Aus dan Khadraj. Bilasaja ada sedikit gesekan, maka meledaklah api peperangan. Jika disulut barang pun sedikit, niscaya berkobar pertempuran. Maka hendak sumpah atas nama siapa untuk kita dapat jujur mengakui bahwa ajaran luhur Islamlah yang telah mempersatukan capaian sejarah pemersatu itu! Sebuah ajaran yang dibawa oleh manusia utusan yang sejak mudanya dikenal masyarakat sebagai tempat berhimpunnya segala akhlaq baik manusia. Sesosok pemuda tempat mengalirnya pujian. Ialah sang utusan yang dipercaya semua orang. Mereka tidak bisa menahan rasa kagumnya untuk menggelari beliau dengan sebutan agung, Al-amin; Yang dapat dipercaya.
Keberhasilan mempersatukan Aus dan Khadraj yang beliau gagas dan perjuangkan tak ubahnya, semacan rasa manis yang melekat pada gula. Itulah Muhammad Saw. yang Iman pembebasannya membuahkan akhlaq yang menawan setiap orang.
Muhammad Saw. hadir membawa gelombang baru yang menyejukkan perindu kemanusiaan, dan ancaman bagi pengagung dunia. Sehingga ajarannya hanya dapat diterima oleh hati-hati yang bersih yang mendapatkan tetesan hidayah dari Allah Swt..
Dengan hidayah dari langit dan keindahan perangai dirinya, sehingga si preman Quraisy, ksatria, dan jagoan bernama Umar Ra. diangkatnya dari penghambaan angkara nafsu ke sosok manusia bebas yang hanya menyembah Tuhan maha di maha. Umar Ra. yang pemberani itu, ahirnya luluh oleh diksi kitab suci yang sangat mendalam isinya. Ibarat rangkulan nurani yang memeluk sanubari iman kemanusiaan, beliau pun berubah dengan ketiba-tibaan yang menakjubkan. Sangat mengagumkan. Beraninya, ketangkasan pedangnya, telah merubah dirinya menjadi singa tarung yang terukur, terjaga, dan tegas. Lalu, sang utusan menggelarinya sebagai “al-faruq; pembeda antara kebenaran dan kebatilan.”
Sementara penyair-penyair jujur, mendapatkan diri mereka dirayu kalam-kalam baru yang rupanya menyerupai syair, namun isinya sangat dalam, luas, dan tidak terhingga. Maka tak ayal, sepenuh kerendahan hati, mereka memilih menyelam dalam kebenaran ajaran Islam dan lalu menebarkannya dengan khasnya kelompok penyair.
Bila boleh mengutip, Soe Hok Gie pernah menulis, tidak ada puisi yang paling puitis kecuali kebenaran.
Kembali pada upaya penelusuran jawaban jaman, pada masa perjuangan, jaman di Arab 14 abad silam itu telah secara revolusioner ditinggikan kemanusiaannya. Rasulullah Muhammad Saw. menebarkan kasih sayang kemanusiaan pada kaum jompo, anak yatim dan piatu, kelompok pendaki ilmu, orang dililit utang, kaum kecil dari jenis fakir dan miskin. Beliau melakukan pembebasan manusia kecil dari cengkraman para tuan kapital yang menindas, memerah tenaganya dan memeras kemanusiaanya. Muhammad Saw. hadir ibarat embun penyejuk di tengah-tengah penghambaan manusia atas manusia. Beliau mengajari manusia dengan ilmu, meneranginya dengan ajaran matahari, menentramkan ibarat purnama, dan menyuburkan tanaman jiwa tak ubahnya hijau tanaman setelah tanahnya kerontang karena kemarau panjang.
Dengan sejarah berteburan bunga itu, bila masih diterka bingung, logika peradaban yang mana lagi kah yang mau jaman postmo ini pilih?
Kalau hendak mengajukan suatu cara pandang, apakah berlebihan ketika kita diminta mengamini suatu pandangan Abul Hasan Ali Nadawi untuk menemukan jawaban dari gejolak jiwa dunia yang pada hari ini, dikatakannya, membutuhkan suatu tuntunan yang mampu mempertemukan antara alam keyakinan dan alam perbuatan? Sebuah keseimbangan harmonis yang kesatuannya hanya dapat ditemukan dalam ajaran Islam.
Lantas, Islamkah yang dimaksud sebagai jawaban jaman postmo ini?
Era postmo merupakan jaman yang hadir setelah era modernisme diantaranya ditandai dengan (selain) perkembangan sains dan teknologi, adalah arus cepat informasi. Saking cepatnya, kalau diibaratkan hujan, ia berupa hujan deras yang tidak mau reda sehingga memunculkan banjir dan atau badai. Tidak bisa dihadang, apalagi dilawan.
Era postmo dan penguasa peradaban di masa depan, konon akan dipimpin oleh mereka yang menguasai arus informasi dan pusat data.
Postmodernisme tidak berdiri sendiri. Ia merupakan jaman perkembangan dari bangunan peradaban dari jaman-jaman sebelumnya. Untuk itu, membaca gagasan postmodernisme di mana kita hidup hari ini meniscayakan pembacaan pada peradaban silam, bahkan peradaban manusia sebelum kelahiran pemimpin Islam itu sendiri.
Pada abad ke-6 Masehi, dunia berada dalam kegelapan yang gulita. Manusia bukan saja lupa terhadap tuhannya, namun lebih dalam dari itu, manusia juga terjangkiti disidentitas yang memuncak menjadi missidentitas (kehilangan identitas kemanusiaan).
Di abad sebelum Muhammad Saw. lahir tersebut, dunia dikuasai oleh pembagian dua kekuatan dunia yang cokolan kekuasannya begitu merusak kemanusiaan. Persia dan Romawi berbagi kekuasaan dengan kebobrokan. Ketumpulan jiwa manusia, ketidakpuasan sosial dan kekacauan ekonomi, keberandalan seksualitas manusia, rendahnya nilai wanita, hinanya sistem kasta, fanatisme buta, watak senang perang, maraknya penjarahan, dan di berbagai penjuru dunia kesuraman merajalela.
Jaman itu merupakan era kegelapan manusia, di mana ajaran nabi sudah ditanggalkan sama sekali, sistem perbudakan menjadi neo-imperialisme kemanusiaan yang mentradisi. Menginjak kelas tertentu, dan menuankan kelas lainnya.
Kesenjangan menjadi buah busuk dari pohon peradaban yang kehilangan daun-daun dan buahnya.
Kekacauan demi kekacauan merebak di berbagai penjuru bumi. Sampai tibalah peralihan peradaban dari yang gelap menuju peradaban terang benderang. Sebuah peralihan cepat dari perbudakan pada pembebasan manusia. Era ini ditandai dengan diutusnya nabi baru di tanah Arab; sebuah kota yang terhimpit oleh dua digdaya dunia pada saat itu.
Muhammad Saw. lahir dengan misi pembebasan perbudakan manusia. Jiwa-jiwa dibebaskan dari ketundukan pada berhala-berhala dan hawa nafsu. Akal-akal manusia diluruskan pada pengerahan kekuatan akal sebagai alat merengkuh kebenaran yang dibimbing wahyu. Ekonomi manusia dibersihkan dari cengkraman perputaran modal di kelas kapital. Sosial manusia dibereskan dari sistem rimba, apatisme, dan digantinya dengan sosial “ta’awun, tafahhum, dan tawassa’u”. Adapun sistem kasta dicoret sama sekali dan diganti dengan konsepsi kesamaan di mata Allah Swt..
Demikianlah Islam hadir buat menumbang digdaya bangsa imperialis dengan membangunkan ruh iman dan mental merdeka. Dunia pada masa ini, menerbitkan matahari yang menerangi semesta.
Enam puluh tiga tahun Rasulullah hidup dengan mewariskan kunci-kunci pemerdekaan dan rahmat sekalian alam. Gugur satu tumbuh seribu. Inilah era di mana dunia mengalami kegemilangan yang cemerlang. Sistem klas masyarakat telah terganti, moralitas manusia terlindungi, perempuan-perempuan ditinggikan, hak-hak setiap manusia diagungkan, dan Islam mewujud dalam karakter bangsa-bangsa.
Ekspansi dakwah telah sampai ke setiap penjuru. Penuh kedamaian, sarat kasih sayang. Pada saat itu, manusia menikmati harmonisasi antara alam keyakinan yang fithri dan alam kenyataan yang hakiki. Keduanya mewujud menjadi daun rindang peneduh, dan buah-buah yang ranum, disebabkan terbit dari pohon berrindang daun dan berrimbun buah.
Masa kepemimpinan Islam bertahan lebih dari 3 abad, dan berahir setelah turki utsmaniyah digempur oleh tentara Tartar Mongol. Turki Utsmaniyah bertahan hingga abad ke-18.
Penyebab kekekalahan Turki Utsmani, sebagaimana disebut Halide Edib, dalam bukunya, Conflict Of East and West In Turkey: “selama dunia masih berpendidikan, lembaga agama ummat Muslim melakukan kewajibannya dengan mengagumkan, dan madrasah-madrasah Sulaimaniyah dan Fathimiyah menjadi pusat-pusat pendidikan dan ilmu-ilmu yang ada. (selanjutnya kami ringkas, pen)… pada masa ini infiltrasi pemikiran dan filsafat dibiarkan masuk tanpa filter sama sekali. Lebih jauh, selama masa kemunduran itu, mereka sibuk urusan politik. Sehingga, lembaga pendidikan dan madrasah sama sekali tidak menjadi hal menarik untuk dilakukan inovasi dan pembaharuan-pembaharuan yang adaptif.”
Maka, pada abad 14-15 M terjadi kemandulan pelajar Islam nyaris di seluruh dunia. Dan pada abad ke-16 merajalelanya kaum Muslimin yang beku berfikirnya, malas melakukan penelitian, sok tahu dan taklid buta.
Pada dua atau tiga abad selanjutnya, mengemuka banyaknya karakter kolot dengan ketaatan berlebihan pada adat kebiasaan, juga merusak kesegaran puisi dan kesusestraan. Pada masa ini terjadi yang (di era postmo sekarang) kita sebut lebayisme, murahan dan rendahan. Buku-buku tebal digati dengan cuitan dan komentar-komentar picisan. Sementara di ruang wilayah institusional, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan dirundung rasa rendah diri. Ahirnya takut berkarya sehingga menjadi lembaga mandul yang ditinggalkan oleh dunia bagian Eropa yang pada masa-masa sebelumnya belajar dari kita.
Abul Hasan Ali Nadawi juga menjelaskan, sebab lain yang menjadi sebab kemunduran Turki Ustmani ialah kelengahan yang diakibatkan dari sibuk soal dunia. Moralitas pemimpin dan masyarakat menurun drastis, intelektualisme membeku, dan dibidang militer serta persenjataan, mereka merasa puas sehingga tidak serius mempersiapkan segalanya.
Mereka lupa dengan nasihat dari Amr bin al-‘ash kepada bangsa Mesir, “jangan lupa, kalian selamanya ada dalam bahaya. Kalian berdiri di pos terdepan yang paling penting. Karena itu bersiaplah selalu dan siapkan senjatamu. Kalian dikelilingi oleh musuh-musuh yang sinar matanya mengawasi setiap saat dari setiap arah dan penjuru.
“Demi jaman! Sesungguhnya manusia berada dalam lumpur nestapa kerugian. Kecuali mereka yang memiliki iman gerakan; sebuah spiritualitas menghujam, serta mau menggerakkan dirinya untuk mewujudkan amal sholeh, dan juga ia berani untuk saling menyelamatkan dengan tegur sapa wasiyat agar menjadi pribadi dan kelompok manusia yang Benar dan konsisten dalam ideologi dan aksi dakwah.” (Q.S. Al-‘ashr: 1-3)
🌹
(Apapun nama jamannya, kuncinya tetap satu, Islam).
Komentar