Tasikmalaya, hayatuna.net – Islam adalah agama dakwah. Lewat nash -nash di dalam Al-Quran dan hadits Shohih, Islam memerintahkan umatnya untuk berdakwah dimana pun, kapan pun, oleh siapa pun dan kepada siapa pun. Dakwah bukan hanya tugas segelintir orang dari kalangan asatidzah semata-mata, melainkan titah kewajiban yang mengikat setiap penganutnya yang setia. Dunia yang menjadi lahan dakwah ini semestinya dirasa sempit oleh umat Islam sebab besarnya tanggungjawab dakwah yang harus ditunaikan. Maka menjadi tidak wajar seandainya seorang Muslim terjebak di kubangan dunia dengan melupakan tugas pokok keberadaannya sebagai penyeru manusia agar beriman terhadap Tuhan semesta alam.
Dakwah merupakan tugas yang panjang masanya dengan berbagai fase yang dilalui, sementara batasan usia setiap manusia tidak serta merta menjadikan dakwah selesai jika usianya telah habis. Maka upaya menyambungkan jalan dakwah harus tetap terpelihara. Kaderisasi dakwah patut menjadi suatu kepentingan yang mutlak dipersiapkan secara serius, matang dan terukur.
Dalam pengantar buku Kebebasan Wanita buah karang Abul Qossam, Dr. Yusuf Qordhowi memberikan kutipan dalam pengantarnya bahwa kuantitas perempuan yang lebih dari separuh penghuni bumi belum berimbang dengan peran dan fungsi perempuan terhadap sumbangsih peradaban.
Di titik itulah panggilan ruang dakwah bagi manusia yang berjilbab (wanita) harus kembali pada tempat kemestiannya. Islam telah banyak mengangkat derajat perempuan sejajar dalam bidang perjuangan Islam dengan garis pembagian hak dan kewajiban yang hadiah ganjarannya dapat sama dengan kaum berkopeah (laki-laki). Sehingga, upaya menggali sejarah dan meneruskan cita-cita perempuan qur’ani yang hidup di tengah lapangan juang jaman, kita berkewajiban membarakannya.
Merupakan sebuah kewajaran jika tumbuh kekhawatiran dalam memikirkan kelanjutan masa depan pergerakan dakwah. Apakah dakwah ini akan terus berlanjut ataukah terhenti. Sementara hidup akan selalu berjalan di atas harapan dan kekhawatiran. Maka jika telah tumbuh kekhawatiran, ini pertanda bahwa kita hidup. Namun untuk melanjutkan kehidupan, khawatir itu harus melahirkan harapan yang cemerlang.
Perempuan terlahir untuk melahirkan. Demikian secara biologis. Dan di ruang psikologis, perempuan dihadirkan sebagai suatu kelembutan yang penuh kasih agar dunia diselimuti kedamaian. Akan tetapi jika keutamaan tersebut tidak dibarengi kesadaran pembangunan daya ledak yang besar dalam pengaruhnya, maka perempuan hanya akan sekedar keluar masuk di tiga keadaan saja, yakni keluar saat dilahirkan, keluar kala menyambangi rumah mertua, dan keluar saat memasuki liang lahat. Bukan tidak baik. Akan tetapi ada ruang luas yang tiba-tiba menyempit di situ. Sangat kecil, dan bahkan lebih kecil dari keadaan lubang jarum sama sekali. Padahal niyat agung Islam akan tanggung jawab perempuan, sungguh sangat terbuka luas dan mencakrawala.
Sudah lumrah diketahui bahwa kader dakwah kebanyakan datang dari kalangan Adam dan jarang terlihat banyaknya kaum Hawa yang melibatkan diri dalam area juang dakwah Islam. Ini persoalan tersendiri. Penyelesaiannya memerlukan kerja bersama yang bertumpu di atas landasan lii’laai kalimatillah.
Selama berabad-abad, opini tentang wanita sebagai makhluk hina, lemah, tiada guna sampai tidak dihargai, terus tumbuh. Pada zaman Jahiliyah, perempuan hanya dipandang sebagai manusia rendah, sekedar pelepas syahwat saja, bisa diperjual belikan bahkan jika seorang ayah menerima kabar kelahiran anak perempuan akan merasa hina dan marah sehingga tanpa kasihan anak perempuan itu dibunuh dengan cara dikubur hidup-hidup.
Sebagaimana tertuliskan dalam firman Alloh Swt. :
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ . يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58)
Namun ketika Islam datang, pandangan kehinaan kaum perempuan ditentang 180 derajat. Islam hadir dengan cahaya persamaan yang tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan kadarnya masing-masing. Islam memberikan penghormatan, penghargaan dan meninggikan derajat perempuan sebagai manusia merdeka, bukan lagi sebagai makhluk yang hina dina. Dengan dinamainya salah satu surat dalam Al-Quran yakni surat An-Nisa yang berarti perempuan, menjadi salah satu cara Alloh memuliakan perempuan. Serta betapa banyak ayat-ayat yang berbicara tentang perempuan. Salah satunya dalam surat yang lain Alloh swt membicarakan tentang kemerdekaan hak perempuan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An Nisa : 19)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum wanita. Di antara sabdanya:
اِسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729)
Perempuan tidak sehina dan serendah apa yang digambarkan sejarah kelam selama ini. Perempuan diberikan bekal yang sama dengan laki-laki. Perempuan bisa sekuat laki-laki dalam beberapa hal kehidupan, bahwa perempuan juga memiliki bekal kecerdasan dan intelektual seperti laki-laki. Sementara Bunda Khodijah, Bunda Aisyah, Bunda Maryam, Fatimah Az-Zahra mereka telah menjadi contoh nyata tokoh besar wanita muslim yang berani, pandai, cerdas dan suci. Nusaibah dan Ummu Umarah yang berjuang di garda terdepan membela dan melindungi Rasululloh Saw ketika perang Uhud. Dan sederet perempuan lainnya yang memberikan bukti bahwa perempuan mampu menjadi bagian dari perjuangan.
Namun, nyatanya menemukan perempuan yang teguh dan kukuh berjuang menjadi hal yang sangat jarang dan susah dicari. Siapakah yang akan melanjutkan jejak langkah perempuan sholeh itu jika kebanyakan kaum hawa hari ini hanya sibuk dengan urusan rumah tangga yang dipersempit peran dan pandangannya. Sementara Khodijah, Aisyah, Asiyah merekapun sama memiliki status sebagai Ibu Rumah Tangga. Sungguh sangat disayangkan lagi ketika kaula muda perempuan lebih sibuk memikirkan urusan duniawi yang sifatnya pribadi dan sementara ketimbang urusan umat. Sementara untuk menjaga estafeta dakwah dibutuhkan kesadaran kolektif yang terbangun simultan.
Keberlangsungan fase sebuah kehidupan sangat ditentukan oleh kiprah kaula mudanya, betapa banyak catatan sejarah yang telah memberikan contohnya dan bukankah Qur’an sendiri yang telah menyatakan bahwa kaula muda adalah sumber kekuatan diantara dua kelemahan; kelemahan anak-anak dan orang tua. Namun tantangan zaman digital hari ini terus menyedot kaula muda untuk hanyut dalam berbagai fitur unfaedah yang sedikit demi sedikit mengikis karakteristik baik yang mestinya melekat pada kaula muda sehingga generasi rusak dan hilang peran utamanya sebagai tonggak peradaban, sebagai panah dakwah.
Ketika sebagian muslimah hanyut dalam lena zaman, maka jalan dakwah mempertanyakan keberadaan kaum hawa. Ketika sebagian perempuan sibuk dengan trend dan mode, sementara yang lain telah berlaga di gelanggang juang, maka tidak maukah kita ikut berjuang dalam dunia dakwah? Tidak terenyuhkah kaum muda perempuan dengan pengorbanan Ibunda di masa silam? Tidak terbangunkah rasa tanggungjawab bersama untuk menjaga keutuhan dakwah Islam? Sementara tugas dakwah ini amat menumpuk dan tidak akan selesai oleh kaum laki-laki saja. Sementara dakwah ini adalah tugas yang harus diselesaikan bersama. Jika dakwah adalah tugas yang hanya diemban oleh kaum Adam, Rasulullah pun tidak akan melibatkan istri-istrinya dalam gelanggang juang.
Dakwah tidak sekedar bicara dari mesjid ke masjid. Akan tetapi setiap tempat adalah mimbarnya. Anak jalanan yang tak tahu arah, fakir miskin yang tidak tahu hari ini akan makan apa, orang lemah yang ditinda sistem kaum berdaya kaya, dan masih banyak soal lainnya yang memerlukan uluran tangan kita sekalian. Jika untuk urusan kecil saja kita tidak mau melibatkan diri, maka bagaimana kita akan memasuki dan menghadapi dimensi dakwah yang lebih luas sementara kekafiran pikiran terus merangsek memborbardir kejatian Muslimah.
Betul bahwa tugas muslimah adalah mendidik anak dan mengurus rumah tangga, tapi itu merupakan salah satu bagian dari peran besar perempuan dalam dakwah. Perempuan adalah rahim kehidupan dengan berbagai peran yang harus dimainkannya sebagai partner kaum Adam, mulai dari ruang domestik hingga ruang publik. Produktifitas rahim harus terus dijaga agar perjuangan tetap memiliki pelanjutnya. Rahim peradaban tidak sekedar melahirkan pelanjut secara biologis, lebih dari itu, rahim peradaban mesti mampu melahirkan pelanjut ideologis. Di tengah keringnya kader dakwah perempuan hari ini, siapa yang akan mengisi peran itu jika bukan kita. Sebelum ruang itu semakin diberangus oleh fikroh-fikroh syubhat berkenaan dengan perempuan.
Jangan terkecoh dengan opini bahwa tulang rusuk itu lemah. Justru jasad tanpa kehadiran tulang rusuk adalah sebuah kecacatan, maka dakwah tanpa keterlibatan kaum hawa pun akan menjadi ketimpangan. Terlebih Islam telah melindungi perempuan dengan adanya perintah berhijab, sebagai identitas yang mesti membangun jiwa kemuslimahan yang kokoh. Hijab bukan tempat sembunyi dari peradaban, hijab bukan alasan untuk mengurung diri dari dakwah, justru hijablah identitas dakwah perempuan muslimah. Karakter keanggunan yang membalut keteguhan. Sikap percaya diri dalam mengambil tanggungjawab sebagai anak, istri, ibu, dan makhluk sosial yang mengemban risalah dakwah Rasululloh saw.
Sama halnya dengan laki-laki, perempuan memiliki kesempatan untuk mempertajam akal, memperdalam ilmu pengetahuan sehingga berefek pada teguhnya hati, lembutnya nurani, dan teguhnya langkah. Sebab peradaban dan kelangsungan dakwah tidak lahir dari rahim yang lemah dan melemahkan diri.
Budi Ashari pernah berkata :
” Orang yang mati besar ialah orang yang matinya dalam keadaan memikirkan umat“.
Merujuk pada ungkapan kalimat beliau, maka orang yang meninggalnya dalam keadaan jiwanya besar, mulia, agung ialah orang yang selama hidup sampai akhir hayatnya terus memikirkan masa depan umat, sebab sadar bahwa ia adalah bagian dari ummat ini.
Oleh karena itu, tidak keliru apa yang pernah dipesankan Tuan Andanu: “Jangan berhenti memikirkan masa depan dan teruslah mengutarakan hasil fikiran kita kepada orang lain, siapa pun itu. Dapat jadi, oleh generasi terbaik, pikiran-pikiran kita dapat dilanjutkan menjadi jariyah gerakan yang berkepanjangan.”
Maka menjadi satu harapan yang sangat besar agar kita mampu menjadi manusia yang sejatinya manusia, manusia yang memikirkan manusia dan kemanusiaan, manusia yang memberi kebermanfaatan besar bagi kehidupan. Bukan sekedar menyembunyikan diri dalam bakti rumahan, tetapilah rumah jaman yang terbentang dari Timur dan Barat, menggugus dari Utara sampai Selatan. Kita dapat membantu kaum Adam dalam berjuang. Dalam skala yang jauh lebih besar. Dalam dimensi yang pantas dikalungi tokoh perempuan yang dikagumi penjaga langit dan penghuni bumi. Kita bisa!
Terucap Aamin Semoga Alloh Swt. senantiasa membimbing dan menghantarkan kita untuk menjadi manusia sejati. Manusia yang bermanfaat bagi semua. Perempuan yang betul menjadi rahim kehidupan: tempat kelahiran yang membulirkan pemimpin terhebat di setiap zaman peradaban.
Kita siap melahirkan. Kita jua dahulu dilahirkan. Inilah dua potensi agung dalam diri kaum Hawa. Kita dilahirkan untuk melahirkan. Kita melahirkan untuk kelahiran manusia unggul yang robbaniyyun. Saatnya kita menelusuri berbagai karya ulama dan tokoh terkemuka dunia. Saatnya jilbab kita bukan sekedar melindungi aurat rambut kepala, tetapi harus dapat melindungi isi fikrah manusia sedunia, dan dapat membawa identitas kemuslimahan sebagai suatu langkah penjawab bahwa Ibu zaman masih ada. Ibu zaman itu telah hadir sedia kala. Itulah kita. Di sanalah kita berada! (YN/IJ)
Yasfa Nafisa I (Santriwati kelas X SMA Plus Muallimin Persis 182 Rajapolah)
Komentar